RADARTVNEWS.COM - Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Stella Christie, menyatakan keengganannya terhadap praktik melampirkan foto pada CV atau daftar riwayat hidup pelamar. Menurutnya, kebiasaan tersebut tidak perlu karena bisa membuka pintu diskriminasi dan menilai kandidat dari penampilan, bukan kompetensi.
Stella menyampaikan bahwa dunia kerja dan dunia pendidikan sebaiknya lebih fokus pada kualitas akademis dan pengalaman profesional seseorang, bukan aspek fisik. “Yang paling penting adalah konten perjalanan karier dan prestasi, bukan foto,” ujarnya dalam sebuah wawancara internal.
Pernyataan tersebut muncul di tengah diskusi publik tentang bagaimana proses seleksi kerja atau beasiswa dapat lebih adil tanpa kecenderungan bias visual. Banyak pihak yang menyambut baik pandangan Stella karena dianggap bisa mengurangi diskriminasi berdasarkan penampilan fisik, gender, atau latar belakang etnis.
Selain mengkritik penggunaan foto pada CV, Stella juga menekankan perlunya sistem seleksi yang lebih objektif dan berbasis data. Dia mendorong agar institusi pendidikan tinggi dan perusahaan rekrutmen lebih mengandalkan portofolio, hasil penelitian, pengalaman kerja, dan portofolio kreativitas pelamar.
Dalam beberapa kesempatan, Stella telah menunjukkan komitmennya pada keadilan dan meritokrasi dalam pendidikan tinggi. Sebelumnya, dia juga menegaskan pentingnya kolaborasi antara dunia industri dan kampus untuk merancang kurikulum yang relevan dan tidak semata mengejar kuantitas lulusan.
BACA JUGA:Kemenpar Buka Kesempatan Magang Batch I Tahun 2026, Ini Jadwal dan Cara Daftarnya
BACA JUGA:Kemnaker Larang Syarat Good Looking, Tinggi Badan hingga Status Nikah di Lowongan Kerja
Namun, sikapnya ini belum dibarengi oleh regulasi formal dari Kemendiktisaintek yang melarang penyertaan foto dalam CV sebagai persyaratan seleksi. Belum ada kebijakan tertulis yang mewajibkan atau melarang institusi pendidikan atau perusahaan untuk meminta foto pelamar.
Sikap Stella juga mendapat dukungan dari beberapa akademisi dan pengamat pendidikan yang percaya bahwa menilai seseorang hanya berdasarkan kompetensi akademik dan profesional akan menghasilkan proses rekrutmen yang lebih adil dan inklusif.
Meski begitu, sebagian pihak mempertanyakan apakah pandangan ini akan berdampak nyata, terutama di dunia profesional di mana foto pada CV masih menjadi praktik umum di beberapa perusahaan dan industri kreatif. Mereka menilai perlu ada regulasi atau panduan resmi agar visi seleksi berbasis meritokrasi benar-benar diimplementasikan secara luas.
Stella sendiri optimistis bahwa dengan edukasi dan perubahan pola pikir, proses rekrutmen bisa berubah seiring waktu. Dia mengajak kampus dan dunia kerja untuk mulai menghindari praktik yang menurutnya sudah usang dan berisiko menimbulkan bias.
Dengan posisi strategis sebagai Wakil Menteri, Stella Christie berharap pandangannya bisa menjadi pemicu diskusi lebih luas mengenai standar seleksi yang lebih adil dan profesional di Indonesia.