DPR Desak Pemerintah Jelaskan Siapa Talangi Kerugian Proyek “Whoosh”
Whoosh--Instagram @keretacepat_id
RADARTVNEWS.COM - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR) dari Komisi VI, Herman Khaeron, menegaskan bahwa pemerintah maupun Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) harus memberikan kejelasan tentang siapa yang akan menanggung kerugian yang terus membebani proyek kereta cepat Whoosh alias Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB).
“Kerugian rata-rata Whoosh tiap tahun mencapai Rp 2 triliun. Maka dari itu, Danantara ataupun pemerintah harus memberi kepastian soal siapa yang akan ‘menombok’ selama proyek ini masih rugi,” ujarnya di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (31/10/2025).
Herman menjelaskan bahwa persoalan kerugian Whoosh tidak sekadar beban simbolis, melainkan nyata-nyata membebani konsorsium yang sebagian besar dipimpin oleh BUMN. Ia menyebut bahwa tidak patut jika keuntungan BUMN lain ikut dipakai untuk menutupi utang proyek ini.
Ia menyoroti posisi keuangan PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), operator proyek yang saham mayoritasnya dimiliki oleh konsorsium BUMN. Sejumlah laporan menyebut kerugian operasional mencapai Rp 4,195 triliun pada tahun 2024 dan Rp 1,625 triliun pada semester I 2025.
Lebih jauh, Herman mempertanyakan apakah ada proposal restrukturisasi utang atau strategi peningkatan pendapatan yang konkret dari KCIC. Hingga saat ini, menurut Herman, Komisi VI belum menerima dokumen formal dari KCIC, KAI, ataupun Danantara terkait penanganan kerugian. “Sebagai mitra BUMN, mestinya satu opsi sudah dibahas. Kami belum melihat itu,” ucapnya.
BACA JUGA:KPK Selidiki Dugaan Korupsi Proyek Kereta Cepat Whoosh, KCIC Berpotensi Dipanggil
Polemik Whoosh muncul setelah audit dan investigasi menunjukkan cost overrun yang besar: nilai proyek yang semula diestimasikan dengan angka tertentu membengkak jauh, sehingga total investasi bisa mencapai USD 7,27 miliar atau setara Rp 108 triliun.
BACA JUGA:Menkeu Tegas Tolak Bayar Utang Kereta Cepat Pakai Uang Negara, PT KAI Diminta Mandiri
Herman menegaskan bahwa meski proyek dinyatakan sebagai model B-to-B atau bisnis murni, fakta bahwa mayoritas saham (60%) dikuasai oleh konsorsium BUMN membuatnya menjadi tanggung jawab publik. “Siapa otak dan siapa yang membayar? Ini bukan sekadar soal bisnis, tapi soal aset nasional dan beban fiskal,” ujarnya.
Dalam pertemuan terpisah, DPR juga mendukung penyelidikan atas dugaan mark-up dan pelanggaran dalam proyek Whoosh oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Herman menyebut bahwa apabila ditemukan indikasi korupsi, maka penegakan hukum tidak boleh pilih-kasih.
Sementara itu, pemerintah melalui Danantara sebelumnya menyatakan bahwa utang KCIC tidak akan dibayarkan menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), melainkan dialihkan ke penanganan Danantara sebagai superholding BUMN. Tapi DPR mendorong kejelasan mekanisme pembiayaan dan siapa yang benar-benar akan menanggung “bom waktu” kerugian ini.
Dengan kerugian tahunan yang terus membesar, DPR menegaskan bahwa keberlanjutan proyek kereta cepat nasional tidak bisa dibiarkan menggantung tanpa kepastian. Tekanan publik dan pengawasan terhadap proyek strategis ini pun makin menguat.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
